Things I Could Never Say to You

Namanya Hongjoong, usianya dua puluh tiga tahun ketika ia kehilangan orang yang dicintainya.

Namun, orang itu bukan miliknya.

Kata bukan, pernah menginjak kata belum.

Hongjoong pernah ada di posisi belum memillikinya.

Hongjoong terlalu mendedikasi hidupnya kepada deretan hitam dan putih bermelodi, hingga lupa bahwa ia juga memiliki perasaan yang perlu diutarakan.

“Itu bisa nanti, Yun. Aku harus jadi pianis terkenal dulu.”

Ia masih ingat mengabaikan ribuan janji kepada orang itu. Hongjoong ingin menyebut namanya, tapi apa ia memiliki hak untuk memanggilnya? Setelah banyaknya rencana yang telah disusun matang-matang, bersama, hangus begitu saja atas keegoisannya?

Hongjoong tidak tahu.

Tidak tahu berapa maaf, berapa sujud agar ia bisa memaafkan dirinya sendiri. Sungguh bodoh, jika Hongjoong yang dikatakan sebagai pianis jenius di masanya, semua itu bohong. Hongjoong mengakui dirinya sebagai penakut, pembohong, dan ... egois, benar, itu dirinya.


Usianya tujuh tahun ketika mengenal orang itu.

Park Seonghwa.

Benar, namanya Park Seonghwa, seseorang yang ia kenal dari sekolahnya hingga mereka beranjak dewasa. Berdua, mereka terkenal sebagai DJ Radio sekolah ketika waktu rehat tiba. Walau identik dengan si kembar siam, yang menempel siang dan malam, semua yang terlihat di permukaan tidak sama dengan apa yang dialami keduanya.

Hingga di usia dua puluh tahun, ketika Hongjoong sibuk mengejar cita-citanya sebagai pianis. Di satu sisi, Seonghwa hanya ingin menjadi tenaga pengajar. Walau berbeda minat, kedua masih bersama, kedua masih berpegangan satu sama lain. Tapi Hongjoong, memiliki kesibukannya sendiri hingga lupa bahwa punggungnya membutuhkan topangan dari pemuda yang lain, selalu, Hongjoong selalu membutuhkan Seonghwa.

Usia dua puluh satu tahun, Hongjoong sepenuhnya lupa bahwa ia memiliki Seonghwa di sisinya sebagai teman. Disibukkan dengan kepergiannya untuk mengumbar kemampuannya memainkan piano, mencari teman baru, relasi baru, semua terasa baru. Hongjoong merasa seperti orang lain, menjadi sesuatu yang berbeda, bukan lagi Hongjoong yang harus bergantung pada Seonghwa.

Lalu, kemana Hongjoong ketika Seonghwa membutuhkannya?

Hongjoong tidak ada di sana, ketika di usia yang sama, Seonghwa didiagnosa kanker hati.

“Hongjoong, aku ingin sesekali kita main, aku rindu,” ucap Seonghwa melalui panggilan telepon.

“Maaf, Hwa, mungkin lain kali. Aku masih sibuk mengurusi kepergianku ke Jepang.”

Ia menolak, menolak ajakan Seonghwa yang jelas-jelas merindukannya. Apakah ia merindukan Seonghwa? Rasa itu tak pernah muncul, sebelumnya. Yang ada di kepalanya adalah tepuk tangan bangga yang menyuapi keegoisannya.

Hingga Hongjoong harus melepas pegangannya pada Seonghwa ketika semuanya terlambat.

“Hongjoong.” Sebuah panggilan datang ketika ia merayakan lagi kemenangannya.

Suara itu bukan Seonghwa, walau pada layar jelas tertera nama sang sahabat.

“Seonghwa sudah tidak ada. Operasinya gagal.”

Hongjoong menjatuhkan ponselnya.

Hongjoong bahkan tidak tahu keadaan Seonghwa, yang dilakukannya hanya menatapi dan meratapi peti hitam yang tertutup di depan matanya ketika usianya dua puluh tiga tahun.

Gelap, padamlah sudah hidupnya.

“Seonghwa, apa kamu tidak takut gelap di sana ... bahkan, di bawah sinar matahari pun, aku takut kalau tanpamu.”

Hongjoong kehilangan rasi bintang arah pulangnya.

I know, I have to let go you. You are not the one for me. That hurts to know.


Usia menginjak tiga puluh tahun, ketika ia pindah ke rumah di sudut kota untuk memulai hidup baru. Setelah keluar dari rumah keluarga dan cukup stabil atas ekonominya sendiri, Hongjoong akhirnya dapat memiliki ruangnya sendiri.

Hongjoong pernah bermimpi. Jikalau hidupnya akan indah dengan membeli rumah besar dan tinggal bersama Seonghwa. Menghabiskan sisa hidupnya sebagai sepasang sahabat yang ingin membangun panti asuhan atau tempat kursus piano. Semua indah dulu, berharap cepat benar terjadi ketika mereka tumbuh besar nanti dan kini hanya indah dalam mimpi, tak terkabul sebab terkubur bersama jasad sang sahabat.


Hongjoong selalu terpana pada bagaimana Seonghwa menatapnya. Selalu jatuh bagaimana manik yang miliki gemerlap bak obsidian, cemerlang seperti cahaya mentari, dan bersorot sangat hidup. Bagaimana Hongjoong tak melabuhkan hatinya pada Seonghwa.

Tapi, ia selalu mengulur perasaannya.

Hingga ia benar-benar lupa, perasaan itu ada.

Ada, sementara pelabuhannya telah tiada.

Last night I cried while looking at the stars. They remind me so much of your eyes.

Hongjoong memainkan Cantoluna pada pianonya, seharusnya ia mempersembahkannya pada penonton, pada penggemarnya yang menanti dentingan apik yang dibawakannya. Lalu, kenapa air mata membasahi wajahnya ketika ia memainkannya di dalam rumahnya sendiri, apalagi setelah Seonghwa menghantui mimpinya. Kenapa? Kenapa ia tidak merelakan kepergian Seonghwa? Setelah sepuluh tahun, bayangkan sepuluh tahun, Hongjoong tidak pernah menemui titik ikhlas untuk sadar bahwasannya Seonghwa tak ada.

I have to let go but I still find myself looking for you in the crowd.

Sambutan yang diberikannya, hanya merekahkan senyum palsu. Di antara lautan manusia, ia tidak bisa temukan Seonghwa. Untuk apa ia masih mencarinya?

Hongjoong baru menyadari, alasan Seonghwa selalu menolak ajakannya untuk menghadiri recital ... karena pemuda itu tak bisa tinggalkan rumah sakit.

Kenapa Hongjoong tidak menyadari lebih cepat?

Jarak tertipis manusia adalah perihal kepintaran dan kebodohan itu sendiri.

Foolish of me to long for something that was never gonna be mine from the start in the first place.

Hongjoong mencintai Seonghwa.

Terlambat, ia terlambat.

“Aku mencintaimu Park Seonghwa.” Yang bisa ia lakukan hanyalah mengaku pada batu nisan di tengah pemakaman. Hongjoong bawakan bunga mawar, yang tak pernah sempat ia berikan semasa hidupnya pada siapa pun, bahkan pada Seonghwa sekali pun.

“Doakan aku,” ucapnya, “aku membuat satu lagu untukmu yang akan kubawakan ke recital nanti di Paris.”

Hongjoong mengambil duduk di depan batu dengan nama Seonghwa di sana, seolah si pemiliknya duduk di depannya dan mendengarkan keluh kesalnya.

“Kau ingat, kita selalu menanti Paris.”

Tergelak.

“Lucu, kau bercanda akan melamarku di sana dan aku tak pernah percaya pada hal itu.”

Mengambil napas, sebelum menghepaskannya perlahan.

“Tapi, kali ini ... giliranku yang menyatakan cintaku padamu. Walau kau tiada, aku tahu kamu masih ada. Kau masih bisa kucintai, kau tidak perlu khawatir, aku tidak akan mencintai siapa pun selain kamu.”

But you don't have to worry. Because I'm too scared to fallin' love anyway. You don't have to run away. Because I'm too scared to fallin' love anyway.