Lensa kontak.

Mingi tak pernah menggunakan lensa kontak sebelumnya. Selama ini, kacamata selalu menggantung di atas hidungnya, membantu ia yang mengalami rabun jauh pula silinder. Yah dan begitulah hidup Mingi yang tak bisa jauh-jauh dari alat yang mendukung penglihatannya.

Tapi ... hari ini memberanikan diri untuk membeli satu sebab acara wisuda telah tiba. Sedikit biar keren, katanya. Dan begitulah bagaimana ia terjebak di kamarnya dengan kotak lensa kontak berwarna biru. Ia kebingungan, tak tahu bagaimana cara gunakannya, walau sudah melihat tutorial melalui aplikasi pemutar video.

“Brengsek,” kutuknya.

Tak ingin lama-lama dalam kesengsaraan, ia menghubungi Yeosang. Salah satu temannya yang tak pernah luput gunakan lensa kontak di kesehariannya. Mungkin Yeosang tahu, mungkin Yeosang bisa membantu. Yeosang menyetujuinya dengan suapan makan malam jika berhasil membantu Mingi gunakan lensa kontaknya.

Pemuda Kang itu datang sejam setelahnya dan berkacak pinggang tatap kawan jangkungnya dengan malas.

“Mana lensa kontakmu?” Menengadah tangannya dan dalam takutnya, Mingi memberikan kotak berwarna kebiruan pada lelaki kawannya.

Yeosang mengamati, sebelum akhirnya membuka isinya dengan cukup kasar. Ia mengambil sesuatu dalam tasnya, yakni capit lensa kontak untuk mengambil si lensa dan ditaruh di ujung telunjuk kanannya.

Dalam keadaan Mingi duduk di tepi ranjang, Yeosang berdiri dengan kaki Mingi mengapit dua sisinya. Tangan yang satu masih pegangi lensa kontak, tangan yang bebas digunakannya untuk membuka mata Mingi lebar-lebar.

“Jangan bergerak, gua pukul lu,” ancam Yeosang, buat Mingi bergidik ngeri.

Perlahan Yeosang memasukkan satu lensa di mata kanan. Meskipun ketakutan di tempat, bahkan Mingi hingga memegang pinggang Yeosang erat, dengan mudah Yeosang memasangkannya. Tak ada rasa sakit, tetap sedikit mengganjal.

“Wajar kalau aneh rasanya, baru pertama kali.” Tanpa Mingi harus mengatakannya, Yeosang sudah tahu apa yang dirasakan lawan bicaranya.

Mingi harus mengerjap sesekali, agar lensa kontak menyesuaikan dengan matanya dengan benar. Barulah terasa, satu matanya tidak lagi memiliki pandangan kabur. Ia mengangguk kepada Yeosang, beri kepastian bahwa ia bisa memasangkan di mata yang satu lagi.

Dengan cara dan posisi yang sama, Yeosang kembali coba menyelipkan lensa kontak pada netra yang satu. Baru disadari, Yeosang nampak serius dan begitu dekat. Hingga Mingi sendiri dapat merasakan napas yang lain tepat di wajahnya. Tanpa sadar ia menutup matanya, juga wajahnya diyakin memerah.

“Buka matanya, astaga.” Yeosang jentikkan jarinya pada dahi, buat ia meringis, bekasnya tak kalah merah mungkin dengan semburat merah hiasi wajahnya.

Mingi coba tenangi diri dan beri Yeosang aba-aba untuk lanjutkan aktivitasnya. Jantungnya masih berdebar kencang bukan main, harap Yeosang tak punya kekuatan super untuk mendengarnya dengan baik. Toh, Yeosang nampak fokus coba memasukkan kontak lensa pada ...

“─Aaaaaaaa!!!” Mingi memekik, memegangi matanya.

Yeosang tidak sengaja─atau sengaja?─menusuk matanya.

“Mingi, sorry─!” Yeosang menangkup wajahnya, sedangkan Mingi belum berani membuka mata.

Perih sekali, Bung.

Dirasa selanjutnya, kecupan hujani kelopak mata kirinya.

“Gua ... ” Satu kecup.

”... minta ... “ dua kecup.

”... maaf.” tiga kecup.

Barulah, Mingi dapat membuka matanya dan lihat temannya sedang terkekeh. Sepertinya, memang sengaja, ya? Mingi menarik Yeosang untuk ikut bersamanya di kasur, berakhir ia menggelitik si pemuda Kang sebagai cara balas dendam.

“Kamu sengaja ya?”

“─Iya, Mingi, ampun─” Yeosang memohon, tapi tawanya belum berhenti sebelum Mingi melepaskan jemari dari pinggang yang lain.

“Beraninya.” Mencebikkan bibir, Mingi melipat kedua tangannya di dada.

Yeosang beri senyum dan satu cium, kali ini di bibirnya.

Cukup singkat, tapi rasanya membekas bahkan setelah Yeosang menarik diri kembali.

“Jangan ngambek. Ayo pergi ke wisuda bareng?”

Oh ... dan siapa Mingi menolak ajakan itu?