Desiderium

Lagu pengiring latar ─ Dealova, oleh Once


Seonghwa tidak tahu sudah berapa lama ia berada di dunia tanpa kaki yang berpijak pada tanah. Dirinya sendiri pun tak pernah mengerti, mengapa ia terjebak di dunia, di sebuah rumah sudut jalan dengan pohon wisteria hiasi pekarangan yang mengetuk jendela ketika tersapu angin. Seonghwa selalu berjalan di rumah tak berpenghuni, seolah Tuhan menginginkan ia mencari jawabannya di sana sendirian.

Seonghwa tidak tahu jawaban apa yang diinginkan, entah untuk dirinya sendiri atau harus mengikuti kualifikasi dari Tuhan yang pada dasarnya ia tidak percaya.

Ia sadar, dirinya telah mati. Ia sadar, dirinya tak lagi meninggalkan bayangan pada cermin atau kaca jendela. Ia sadar, bahwasannya ia tidak bisa dilihat orang awam hanya membuatnya sulit mencari jawaban yang dibutuhkan.

Hampa selalu dirasa untuk ia yang tak lagi memiliki hati, hingga rumah yang sepi kini telah dipenuhi oleh tumpukan barang di sana dan di sini. Kehampaan itu berganti menjadi rasa bimbang yang mengusik kejiwaannya yang seharusnya hilang bersama nyawanya.

Seorang pemuda baru saja menempati tempat yang ditungguinya. Lelaki dengan rambut merah menyala, terlalu nyentrik untuk ukuran kesukaannya. Ia lebih pendek beberapa senti dari Seonghwa, terlihat manis ketika ia berbicara dengan orang-orang yang membantunya memindahkan barang.

Rumah yang penuh dengan sarang laba-laba dan decit sepi, kini ramai dengan langkah kaki atau denting piano di setiap malamnya. Seonghwa tidak tahu apakah ini pertanda baik atau buruk, apakah pemuda yang kini temani harinya menjadikan pelancar atau penghalang dirinya untuk menemui titik akhir kehidupan yang lebih hampa lagi.

“Hongjoong.”

Nama sang wira, Seonghwa mendengarkan orang-orang memanggilnya demikian. Roman tak pernah luput dari senyum, dua manik obsidian tak pernah hilang cahayanya. Ia hangat, Seonghwa menyukainya ketimbang rasa dingin yang baru disadari setelah Hongjoong hadir dalam hidup ...

... dan Seonghwa tidak menyangka ia menginginkan Hongjoong lebih dari yang ia kira.

Seonghwa, seseorang yang berada di ambang surga dan neraka, tidak tahu bahwa ia menyukai keberadaan lelaki yang mahir gunakan piano yang terletak di ruang tengah.

Tiap malam ada saja lagu yang membuatnya takjub. Sebagai seseorang yang tidak mengerti musik di masa hidupnya, Seonghwa hanya dapat memandangi dari sudut ruangan agar dapat menatap wajah laki-laki yang nampak begitu serius geluti partitur dan deretan hitam putih, tempat jemari-jemarinya dengan lihai berdansa.

Kegiatannya di malam hari pun berubah, begitu juga perasaannya.

Semula hanya penasaran yang datang, hingga menganggumi pun muncul.

Aku ingin menjadi sesuatu yang selalu bisa kau sentuh. Aku ingin kau tahu bahwa 'ku selalu memujamu.

Seonghwa tidak tahu kenapa perasaan seperti itu muncul. Ia tidak ingin terjebak dengan perasaan dengan seorang manusia yang nyatanya tak bisa menyentuhnya. Ah, jangankan menyentuh, untuk melihat, menyadari keberadaannya pun nihil kesempatannya.

Di malam yang lain, Hongjoong menangis. Raungan terdengar dengan iringan Cantoluna yang apik tak seperti apa yang menyayat hati si rambut merah. Seonghwa berharap, ia bisa menggapai dan mendekap, apa pun ia akan lakukan demi senyum sang mentari. Lagi-lagi, tangannya hanya menembus sosok solid sang manusia.

Angan tetaplah angan, bagi ia yang tak hidup.

Aku ingin menjadi mimpi indah dalam tidurmu. Aku ingin menjadi sesuatu yang mungkin bisa kau rindu.

Di siang hari, biasanya Hongjoong akan pergi. Meninggalkan Seonghwa kembali dalam sepinya. Hampa kini berganti menjadi merindu, menganggumi menjadi ingin memiliki. Kenapa dalam matinya pun bimbang mengikuti.

Hongjoong akan kembali ketika hari menjelang malam, lalu sibuk dengan partiturnya. Lupakan makan malam atau tumpukan cucian piring wastafel dapur. Kini, ia tidak lagi dengan pianonya, tapi pada partitur dan pensil. Garis-garis horizontal yang semula kosong, kini dipenuhi dengan barisan notasi balok yang tak dipahaminya.

“Apa yang kau kerjakan?” Walau Hongjoong tak bisa mendengarnya, ia tetap bertanya.

Untuk siapa Hongjoong menulis? Untuk siapa lagu itu akan dipersembahkan?

Seonghwa ingin tahu.

Menyesakkan.

Seonghwa tak begitu menyukai rasa gatal yang usik dirinya. Apakah ia cemburu? Apakah Seonghwa tidak siap untuk kembali ke kehampaan? Apa malah, ia tidak ingin kembali ke pangkuan Tuhan sebenarnya?

Lalu, Seonghwa terdiam di tempat, masih tatapi durja yang merutuk.

Tanpamu sepinya waktu merantai hati.

Seonghwa kembali bertemu dengan sepi.

Hongjoong tak lagi habiskan waktu di rumah, baik di pagi dan malamnya. Hangat kembali menjadi dingin, lagi-lagi hanya ditemani dengan semilir angin yang menyusup di ventilasi udara. Salahkan dirinya yang tak tertidur, dua puluh empat jam terasa lebih panjang dari biasanya tanpa kehadiran sang lelaki yang dirindu.

Kenapa ia merasa sakit padahal jantung tak lagi bersembunyi di dada kiri?

Seonghwa kembali lagi ditinggalkan dalam tanda tanya.

Hongjoong tiba di suatu pagi dengan rambut yang menggelap. Koper yang diseret, ditinggalkan begitu saja bersama sepatu yang dilepas di depan pintu. Kali ini, ia mengambil sebuah foto yang disimpannya dalam lemari. Tarik atensi Seonghwa, sebab senyum simpul terukir jelas pada lelaki yang lain, setelah sekian lama tak pernah mampir pada tampang rupawannya.

Hongjoong menaruh foto itu pada sebuah bingkai persegi yang diambilnya di lemari yang lain. Kemudian, diletakkan tepat pada di atas pianonya sembari ambil duduk di depannya. Lama Hongjoong tatapi foto itu di sana, hingga jemarinya kembali bertemu dengan kunci dan senyum tak lagi luntur.

Kegembiraan juga datang kepada Seonghwa yang kini berdiri di belakang Hongjoong yang tengah memainkan sebuah lagu, tak ada partitur di hadapannya, hanya bingkai dengan foto yang membuat rasa khawatirnya luruh seketika.

Satu pertanyaan terjawab.

. . .

“Hongjoong-hyung, Hongjoong-hyung.”

Nama yang menggema di lorong gedung, buat si pemiliknya menengok ke arah sumber suara. Terengah ia yang menghampiri, buat Hongjoong memiringkan kepalanya dan menaikan satu alis sebagai pertanyaan tak terlontar untuk lelaki yang mengejarnya.

“Hyung, kamu baru saja menolak ajakan kencan Kang Yeosang! Dia itu violinis terkenal!”

Hongjoong tertawa keras lihat juniornya merengek, lucu juga.

“Yunho, kau tahu aku tidak akan menerima ajakan kencan siapa pun 'kan?”

Yunho menghela napas kasar, jengkel.

“Dia lagi? Sudah sepuluh tahun, kau tahu.”

“Siapa lagi memangnya?” Hongjoong lanjutkan langkahnya, diikuti Yunho yang coba imbangi ritme berjalan sang senior.

“Tidak ada. Park Seonghwa seorang bukan?”