Dari Sebuah Mimpi Buruk

Hongjoong tidak tahu, tidak tahu sudah berapa lama ia menunggu kehadiran sang suami. Ia terduduk di ruang tamu, memutar benda yang melingkar pada jari manis kirinya. Benda yang mengikat dirinya dengan orang yang ia tunggu.

Erat.

Erat.

Erat.

Erat hingga membuat dirinya sesak, tak berdaya. Napas tersengal mengingat apa yang terlintas dalam benak. Hongjoong terisak dengan kedua tangan kini menutupi wajah kecilnya. Ia yang dulu bersinar, kini redup dalam kegelapan, dalam mimpi buruk yang ia ciptakan sendiri.

Atau mimpi buruk itu kini menjadi kenyataan?

Dalam tangisnya, ia sulit membedakan mana realita dan mana yang sekadar khayalannya. Hongjoong memohon entah pada siapa, bahkan Tuhan nampak tak nyata baginya. Karena sebanyak apa pun ia berdoa, seberapa banyak ia memohon, dan tak terhitung banyaknya ia bersujud kepada eksistensiNya, tak ada satu pun yang terbalas.

Apa Tuhan senang mempermainkannya?

Hongjoong menghapus air matanya segera, ketika bunyi dari arah pintu depan masuk ke kedua rungu. Beranjak, berusaha setegar mungkin dengan menutupi segala keraguan dalam senyumnya.

Di depannya, Seonghwa berdiri.

Pria itu tak pernah berubah. Ia tetap Seonghwa yang ia kenal. Seonghwa yang berdiri gagah, tampang rupawan tiada tara, dan segala hal yang sulit ia lihat pada laki-laki lain. Itulah kelebihan sang suami yang ia kultus dalam tiap bulir darah, dalam tiap udara yang ia hirup.

Yang berubah hanyalah satu, hati.

Hongjoong menyambut dalam duka yang tersembunyi, memeluk pria yang membentangkan tangan untuk dirinya.

Bukan untuk dirinya seorang lagi.

Hongjoong tak dapat bersanding dengan Seonghwa, tak begitu istimewa. Ia bukan apa-apa, ia tak dapat disamakan dengan lelaki lain yang menggandeng mesra suaminya di belakang.

Kenapa dirinya harus melihat hal yang seharusnya ia tak tahu?

Hongjoong tak ingin menjawab kala dalam pelukan lelaki yang berstatus sebagai suaminya itu. Biarkan, biarkan ia nikmati tiap detik kehancuran hatinya.

Lemah, hatinya lemah, melebur dalam kehangatan semu yang mungkin dibagi oleh lelaki lain.

Bahkan di atas meja makan, dalam sunyi dentingan peralatan makan yang dipegangnya, Hongjoong tak dapat lepaskan dua netra pada orang di hadapannya.

Bertanya, apakah hatimu sudah beralih pada yang lain? Bertanya, apakah ada yang salah pada diriku? Bertanya, apakah memang aku tidak pantas untukmu?

Jawab, Park Seonghwa!

Dalam teguk air yang melewati faring, tetaplah kering yang ia terima. Ah, kini air pun tak dapat menghapus pilunya.

Imajinasinya semakin liar, menatap lelaki yang kini berbaring di sebelahnya. Mata indah yang acapkali lihat dirinya dengan binar, tak lagi sama. Pancaran bintang pada mata obsidiannya hilang, Hongjoong tak lagi menerimanya dan mencari pun seperti sia-sia sekarang.

Hongjoong mengeratkan selimut yang ia gunakan, walau lagi-lagi percuma. Sebuah selimut tak dapat tutupi rasa teguh yang telah runtuh dalam diri.

Lagi ia hanya sanggup meratapi nasib, tanda tanya penuhi kepalanya, bisingnya kalah dengan lalu lintas di balik jendela kamar mereka. Bisik-bisik buruk terdengar dalam kelarutan malam, ketika seharusnya ia tertidur lelap.

Lemah, dirinya lemah.

Untuk bangun pun, antusias nihil. Merengkuh Seonghwa erat, berharap lelaki itu tak pergi.

“Jangan pergi.” Jika Tuhan pun tak dapat menolongnya, kepada siapa lagi selain Seonghwa ia meminta?

“Hongjoong-ah, aku harus bekerja.” Kecupan hanya mendarat pada puncak kepalanya, tak guna sebab tak bisa hapus cemas.

Dilepaskan, apakah benar ini saatnya ia melepas Seonghwa?

Lalu, kembali dingin yang menyapa bagai kawan lama yang tak ingin ditemuinya. Meringkuk dirinya, semakin kecil raganya, semakin kecil pula nyalinya.

Berita terkini, aktor Park Seonghwa terlihat bersama dengan aktor Kang Yeosang.

Hongjoong berdansa di ruang tamu, kakinya asyik membawanya ke tiap sudut ruangan. Langkahnya diiringi dengan lagu yang ia buat untuk ulang tahun pernikahannya, hanya terdengar berbeda kali ini.

Rasa senang absen, digantikan presensi lara tiada ampun.

Diketahui keduanya memadu kasih, mesra. Apakah kepergian mereka ke Saipan adalah bulan madu mereka?

Tertawa keras, bersamaan dengan tetes air mata yang tak jua berhenti. Tak ada alasan untuk menghentikannya sekarang. Biarlah membasahi pipinya, harap-harap juga dapat menghapus semua ingatan yang berbalut ketidakyakinan.

Apakah cinta yang kuterima hanya akting belaka? Apakah dirimu terpaksa mencintaiku, Seonghwa?

Dering telepon tak dapat menghentikan langkahnya. Dansa yang nampak anggun, hanya sebatas gambaran angsa hitam. Benar, dirinya bukan angsa putih yang indah seperti Kang Yeosang.

Bandingkan terus, bandingkan.

Lelah terasa pun tak membuatnya berhenti. Semilir angin menerpa dingin durja muram yang bersimbah air mata, dingin seperti bentala yang tak lagi eksis untuknya.

Terhenti langkahnya hanya ketika dirinya menatap mentari terbenam. Erat genggaman pada pagar balkon, sedangkan diri coba mendudukinya. Kedua tungkai berayun di ketinggian, lalu menatap sendu ke dalam rumah yang ditinggalinya.

Ditinggalinya?

Kini rumahnya hanya menjadi rumah yang ditinggalkannya bersama memori.

Setidaknya, ia bersyukur pernah bahagia. Walau sesaat. Walau itu tidak nyata.

Ketika pintu terbuka dengan derap langkah, tanpa perlu tengoki siapa yang membukanya, Hongjoong tahu. Dirinya tahu siapa yang kini memandang dirinya di balik jendela besar yang menghalangi keduanya.

“Hongjoong, Hongjoong jangan!” Kini meja pun berputar, bersamaan dengan dunianya.

Kini, Seonghwa-lah yang memohon kepada dirinya.

Teruslah berdoa, Seonghwa.

Hongjoong melepaskan pegangannya pada pagar, membiarkan dirinya disambut oleh gravitasi yang menarik punggungnya.

Runtuh.

Tak sempat kedua tangan itu menggapainya, tak sempat.

Maafkan aku. Aku benci diriku yang tak sanggup bebani dirimu dengan dendam. Maka lepaskanlah, lepas. Bahagia.

Dan mentari menggelap, padam bersamanya.


@pengkultusan, 2020.